Langsung ke konten utama

METODE PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA DALAM AUDIT INVESTIGATIF

MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Dengan dipastikannya bahwa kerugian keuangan negara telah terjadi, maka salah satu unsur/delik korupsi dan atau perdata telah terpenuhi, sedangkan tujuan dilakukannya penghitungan jumlah kerugian keuangan negara antara lain adalah:

•    Untuk menentukan jumlah uang pengganti/tuntutan ganti rugi yang harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepada terpidana dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 17 dan 18 UU No. 31 Tahun 1999;

•    Sebagai salah satu patokan/acuan bagi jaksa untuk melakukan penuntutan mengenai berat/ringannya hukuman yang perlu dijatuhkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bagi hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan keputusannya;

•    Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus perdata atau lainnya (kekurangan perbendaharaan atau kelalaian PNS), maka perhitungan kerugian keuangan negara digunakan sebagai bahan gugatan/penuntutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (perdata/TP/TGR).



a.    Langkah-Langkah dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara

Langkah-langkah dalam menghitung kerugian keuangan negara pada dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat beragamnya modus operandi kasus-kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi yang terjadi. Namun demikian, dalam menghitung kerugian keuangan negara atas kasus penyimpangan yang diaudit, auditor dapat menempuh hal-hal sebagai berikut:

1.    Mengidentifikasi Penyimpangan yang Terjadi

a)    Dalam tahap ini auditor mengidentifikasikan jenis penyimpangan yang terjadi misalnya kontrak/pembayaran fiktif, mark-up/ kemahalan harga, volume barang lebih kecil dari yang seharusnya, kualitas barang lebih rendah, harga jual terlalu rendah dan sebagainya.

b)    Menelaah dasar hukum kegiatan yang diaudit (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, standar akuntansi keuangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya).

c)    Meneliti apakah kasus yang diaudit masuk kategori keuangan negara.

d)    Menentukan penyebab kerugiannya (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan, kelalaian dan sebagainya, apakah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi atau tidak).

e)    Mengidentifikasi waktu dan lokasi terjadinya penyimpangan dan atau perbuatan melawan hukum.

2.    Mengidentifikasi Transaksi

a)    Mengidentifikasi jenis transaksi, misalnya: masalah pengadaan barang/jasa, tanah, ruislag, penyaluran kredit, dan sebagainya.

b)    Menentukan jenis kerugiannya (misalnya hilang/kurang diterimanya suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/tidak diterima, dan sebagainya).

3.    Mengidentifikasi, Mengumpulkan, Verifikasi, dan Analisis Bukti

Mengidentifikasi, mendapatkan, memverifikasi, dan menganalisis bukti-bukti yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus penyimpangan yang diaudit.

4.    Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan Negara

Berdasarkan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, dikumpulkan, diverifikasi, dan dianalisis, kemudian dihitung jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi.



b.  Permasalahan Yang Terkait Dengan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

1.    Bukti-bukti audit

Di dalam praktik audit investigatif, seringkali bukti-bukti asli yang diperlukan untuk menghitung jumlah kerugian keuangan negara tidak tersedia secara lengkap. Ada yang sebagian berupa fotokopi dan atau bahkan yang sama sekali tidak diketemukan. Hal ini tentunya menjadi masalah, khususnya apabila hasil perhitungan kerugian keuangan negara tersebut disampaikan kepada instansi penyidik. Penyidik pada umumnya tidak dapat menerima bukti yang hanya berupa fotokopi. Pada umumnya ahli hukum berpendapat bahwa fotokopi tidak merupakan alat bukti, bahkan sebagai petunjuk sekalipun. Akan tetapi fotokopi yang dilegalisir, sesuai aslinya dan diyakini kebenarannya dapat menjadi alat bukti.

Oleh karena itu, auditor harus mengupayakan diperolehnya bukti asli, namun jika yang ada fotokopi, harus diusahakan untuk memperoleh legalisasi dari pejabat yang menandatangani bukti tersebut beserta pimpinan instansi yang diaudit dan diperkuat dengan bukti-bukti lainnya yang mendukung.

Apabila auditor menemukan banyaknya bukti-bukti asli yang tidak ada/hilang (mungkin dihilangkan) dan yang ada hanya berbentuk fotokopi, maka harus diungkap di dalam Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan ditetapkan pula nilainya. Pejabat-pejabat yang bertanggung jawab terhadap keamanan bukti-bukti tersebut harus diperiksa keterlibatannya dalam kasus penyimpangan yang sedang diinvestigasi.

2.    Nilai yang digunakan

Auditor BPKP, yang mempunyai keahlian di bidang akuntansi dan auditing, mengenal penilaian (accounting measurement) berdasarkan berbagai macam nilai. Misalnya: nilai perolehan (historical cost), nilai jual (sales price), nilai ganti (replacement cost), nilai pasar wajar (fair market value), nilai historis yang di-adjust dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak (NJOP), nilai buku (nilai perolehan dikurangi penyusutan), dan sebagainya. Penggunaan macam-macam penilaian tersebut dalam praktik perhitungan kerugian keuangan negara harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum. Metode yang digunakan auditor di dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara hendaknya disampaikan juga kepada penyidik dan diuraikan dalam LHAI/ Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN).

Mengingat bahwa auditor BPKP dalam persidangan biasanya diminta pendapatnya tentang besarnya kerugian keuangan negara, maka yang diutarakan harus dapat dijelaskan metodenya dan dasar atau alasan mengapa metode tersebut dipilih. Metode yang lazim diterapkan dalam perhitungan nilai kerugian keuangan negara adalah metode nilai perolehan (historical cost) karena nilai perolehan merupakan nilai pada saat negara secara riil mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu dan data untuk perhitungan yang berkaitan dengan nilai historis relatif lebih mudah diperoleh.


C.    Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Metode untuk menghitung kerugian keuangan negara pada dasarnya sangat beragamnya sesuai dengan modus operandi kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi. Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya “Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana KorupsI” membahas beberapa pola penghitungan kerugian negara. Masing-masing pola penghitungan diberi nama yang umum untuk memudahkan penyebutan dalam pembahasan selanjutnya6:

1.    Kerugian Total ( Total Loss )

Dalam metode ini, seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara. Sebagai contoh pejabat tinggi di suatu Kementerian menyetujui pembelian komponen (suku cadang) mesin dan alat berat dari negara lain. Mesin dan alat berat tersebut, baik dalam keadaan terpasang (built up) maupun dalam keadaan terurai, tidak lagi diproduksi di negara pengekspor. Tidak ada pabrik lain di dunia yang memproduksi mesin dan alat berat maupun suku cadangnya yang dapat digunakan sebagai pengganti komponen yang diimpor.

Tindak pidana ini melibatkan beberapa pejabat tinggi Indonesia, baik dalam negeri maupun luar negeri. Jumlah pengeluaran untuk pembelian ini mencapai triliunan rupiah. Seluruh pengeluaran ini merupakan kerugian keuangan negara.

Tim Pembela mencoba menggunakan argumen bahwa komponen (baca : barang rongsokan) tersebut masih mempunyai nilai sebagai besi tua. Argumen ini ditolak, karena biaya untuk membesituakan suku cadang tersebut dan mengangkutnya ke pabrik baja terdekat sangat mahal. ( Biaya ini disebut salvaging cost ).

Metode ini juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan ini merupakan kerugian total.

2.    Kerugian Total dengan Penyesuaian

Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini adalah (Total Loss + Penyesuaian). Penyesuaian ini diperlukan kalau barang yang dibeli harus


6    Theodorus M.Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2009).

dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Zat kimia yang akan dimusnahkan harus ditangani dengan cara-cara tertentu dengan mengeluarkan biaya yang mahal. Kerugian keuangan negara bukan saja berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya untuk memusnahkan atau menyingkirkannya.

3.    Kerugian Bersih ( Net Loss )

Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, seperti dalam metode Kerugian Total, dengan penyesuaian ke bawah. Contohnya dalam Kerugian Total di atas dapat dikembangkan lebih lanjut dengan argumen yang dikemukakan tim pembela, yaitu “barang rongsokan itu masih ada nilainya”. Dengan demikian, kerugian keuangan negara hanyalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi dikurangi nilai bersih barang rongsokan tersebut. Nilai bersih ini merupakan selisih yang bisa diperoleh (harga besi tua) dikurangi salvaging cost. Dalam contoh komponen mesin dan alat berat, salvaging cost dapat ditaksir, misalnya oleh ahli dari PT Krakatau Steel.

Pertanyaannya ; kapan metode Kerugian Total digunakan?, dan kapan metode Kerugian Bersih diterapkan ?. Ada dua pandangan yang dapat digunakan oleh majelis hakim sebagai bahan pertimbangan. Pertama, pandangan yang bersifat teknis akuntansi. Berapa besarnya salvaging cost ? Apakah salvaging cost dapat dihitung cukup seksama (akurat) sehingga tidak menimbulkan tambahan kerugian negara di kemudian hari?. Kedua, pandangan yang bersifat hukum. Seberapa besar kadar kejahatannya (tindak pidana) ?

Pada salah satu dari 15 sampel KPK, majelis hakim terakhir menerapkan penghitungan Kerugian Bersih. Tidak seluruh premi yang dibayarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sebagai kerugian negara. Unsur yang ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut adalah seluruh premi yang dibayarkan KPU dikurangi klaim-klaim asuransi yang diterima KPU.

4.    Harga Wajar

Negara seringkali dirugikan karena transaksi dibuat tidak dengan harga wajar, baik dalam transaksi pembelian (pengadaan barang) maupun transaksi pelepasan dan pemanfaatan barang. Dalam metode ini kuncinya adalah penentuan harga wajar.

Harga  wajar  menjadi  pembanding  untuk  “harga  realisasi”  .  Kerugian keuangan negara di mana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

a)    Dalam pengadaan barang, kerugian ini merupakan selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga yang wajar.

b)    Dalam pelepasan aset berupa penjulan tunai, kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga yang diterima.

c)    Dalam pelepasan aset berupa tukar guling (ruilslag), kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value). Metode ini juga digunakan untuk semua pertukaran barang dengan barang lain atau pertukaran barang dengan jasa.

Gagasan penghitungan harga wajar sederhana, tetapi penerapannya tidak selalu mudah. Kesulitan dalam menerapkan harga wajar tercermin dari pertanyaan berikut:

a)    Apa yang dimaksud dengan harga wajar ?

b)    Pendekatan untuk menentukan harga wajar adalah menggunakan harga pembanding. Harga apa yang dapat dipakai sebagai pembanding ?

c)    Bagaimana memperoleh harga pembanding

Dalam sistem hukum di Amerika Serikat, untuk menentukan harga wajar digunakan kriteria arm’s length transactions. Apabila kriteria arm’s length transactions terpenuhi, maka harga yang terjadi adalah harga wajar. Namun apabila arm’s length transactions kriteria tidak terpenuhi, maka harga yang terjadi tidak wajar. Oleh karena itu, dalam tahap merumuskan perbuatan melawan hukumnya, penyidik akan menguji sifat transaksi tersebut.

Kalau penyidik dapat membuktikan bahwa harga yang terjadi bukan harga wajar, maka akuntan forensik akan menyelidiki berapa harga wajarnya. Pendekatan yang digunakan adalah mencari harga atau harga-harga yang dapat dijadikan sebagai pembanding. Harga pembanding ini harus sama atau mendekati harga wajar tersebut (is a proxy to the fair price).

Untuk itu, harga-harga yang dijadikan pembanding harus memenuhi kriteria arm’s length transactions untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain yang serupa. Frasa “untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain yang serupa” justru digunakan tim pembela sebagai argumen bahwa tidak ada barang yang serupa dengan kondisi yang serupa. Argumen ini dikenal sebagai “apples-to-apples comparison”.

Ada beberapa cara untuk memperoleh harga pembanding. Dalam pengadaan barang yang diikuti oleh peserta tender yang bukan “orang dalam”, harga penawarannya dapat digunakan sebagai harga pembanding.Penggunaan harga pembanding yang berasal dari peserta tender yang kalah meskipun harganya kompetitif, dalam penentuan besarnya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, diterima oleh pengadilan ( termasuk Mahkamah Agung), seperti terlihat dalam putusan-putusan mereka.

Kalau ada catatan harga pasar dari barang yang diperdagangkan, maka catatan ini dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan. Barang yang bersangkutan bisa diperdagangkan di pasar domestik maupun internasional, sehingga ada catatan untuk pasar yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan catatan harga pasar adalah sebagai berikut :

a)    Harga yang terbentuk seyogianya berasal dari transaksi barang yang sama atau serupa. Kapasitas mesin, pabrik, kapal, dan sebagainya perlu diperhatikan, karena perbedaan kapasitas menyebabkan perbedaan harga. Ahli dalam komoditas yang bersangkutan dapat menghitung atau menaksir perbedaan harga (price differential) yang wajar. Alternatifnya adalah penggunaan rentang harga tertingggi dan terendah.

b)    Tanggal atau tanggal-tanggal transaksi harus berdekatan dengan tanggal transaksi yang disidik. Kalau harga sangat berfluktuasi, makin jauh tanggal-tanggal transaksi yang disidik, harga pembanding tidak mencerminkan harga wajar.keadaannya berbeda jika pasar bergerak ke satu arah, misalnya harga sedang naik atau harga sedang turun. Kalau harga sedang naik, maka harga wajarnya adalah sekurang-kurangnya sebesar harga pembanding. Sebaliknya kalau harga sedang turun, harga wajarnya adalah setimggi sebesar harga pembanding.

c)    Kalau ada cacatan harga pasar domestik, harga pasar regional, dan harga pasar internasional, perlu diketahui persamaan dan perbedaan struktur pasar dan keterkaitan (linkage) antara pasar yang berbeda. Ketiga pasar di atas merupakan pendekatan apples-to-apples comparasion.

5.    Harga Pokok

Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apples-to-apples comparasion, ada dua jenis harga pembanding yang ingin dibahas, yaitu penghitungan harga pokok (HP). Penggunaan HP sebagai harga pembanding sering dikritik. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kekurangan metode-metode ini dan apakah mereka sama sekali tidak dapat digunakan.

HP dikritik karena tidak sama dengan harga jual. Kritikan ini benar. Oleh karena itu, HP harus disesuaikan (ke atas atau ke bawah) untuk mencerminkan harga jual. Harga pasar ke atas atau ke bawah tergantung kondisi pasar pada saat terjadinya transaksi yang diinvestigasi. Harga pasar pada saat itu bisa melebihi HP, yang berarti HP harus ditambah dengan margin keuntungan. Sebaliknya harga pasar pada saat di bawah HP, yang berarti HP harus dikurangi dengan margin kerugian.

Diskusi ini membawa kita kepada kritikan berikutnya terhadap metode HP, yaitu bahwa HP dan margin keuntungan/ kerugian untuk tiap pengusaha berbeda karena ada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kritikan tidak tepat dalam konteks harga pembanding. Harga terbaik akan diberikan oleh pengusaha yang menikmati keunggulan kompetitif, apabila terjadi arm’s length transactions.

6    Opportunity Cost

Metode harga wajar yang dibahas di atas dapat diterapkan dalam pengadaan barang, pelepasan barang melalui penjualan, dan pelepasan barang melalui pertukaran. Dalam transaksi-transaksi tersebut, pertanyaannya adalah berapa harga wajar ?.

Dalam metode penghitungan biaya kesempatan (opportunity cost), pertanyaannya adalah: Apa alternatif terbaik dalam suatu keputusan ? Misalnya lembaga Negara harus mengambil keputusan? Misalnya lembaga Negara harus mengambil keputusan tentang suatu asetnya, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah : Dengan kondisi yang ada, apa alternatif terbaik ? Apakah menjual asset tersebut ? Menyewakan ? Menukarkannya ? Bertahan (dalam arti, tidak berbuat apa-apa untuk sementara waktu) dan memanfaatkannya dikemudian hari kalau keadaan sudah berubah (dengan kriteria obyektif yang ditetapkan) .?

Metode opportunity cost ini menarik, karena sekaligus dapat dipakai untuk menilai apakah pengambil keputusan sudah mempertimbangkan berbagai alternatif, dan apakah alternative terbaik yang diambil ?
Metode ini juga diunggulkan oleh para ekonom. Kalau ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh yang terbaik, tetapi justru peluang ini yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti opportunity cost.

Kendala yang dihadapi dengan menggunakan metode opportunity cost adalah definsi kerugian (keuangan Negara) yang nyata dan pasti. Akan tetapi ini bukanlah kelemahan dari metode opportunity cost. Ini hanyalah tantangan yang harus dijawab akuntan forensik dan ahli ekonomi yang memberikan keterangan Ahli di persidangan. Bagi pengadilan, tindak pidana korupsi ini suatu proses pembelajaran. Sesudah melampaui learning curve ini, kita akan mempunyai wawasan yang lebih luas mengenai penghitungan keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi.

7    Bunga Sebagai Unsur Kerugian Keuangan Negara

Dalam hukum perdata, bunga merupakan unsur penting, dalam pengertian kerugian ( konsten, schaden en interessen). Bunga merupakan unsur kerugian keuangan Negara yang penting, terutama (tetapi tidak terbatas) transaksi-transaksi keuangan seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi-transaksi keuangan seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu dari uang (time value of money).

Dalam praktiknya, bunga tidak ditetapkan unsur kerugian keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi. Pidana denda bukanlah bertujuan untuk pemulihan kerugian akibat tipikor. Sebagai wacana, bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian keuangan Negara. Pada sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.

d.    Pola dan Fleksibilitas

Pada penghitungan kerugian keuangan Negara yang dibahas di atas mempunyai dua tujuan, yaitu: Pertama, untuk memahami munculnya pola tertentu sehingga kita dapat diumpamakan memahami pola permainan pembukaan dalam catur.

Kedua, menekankan pada proses berfikirnya (thought process). Bagaimana seorang Ahli menemukan atau melihat pola, ketika permainan caturnya berkembang, ketika bukti-bukti mulai dikumpulkan atau berdatangan. Pola penghitung yang disebut di atas dapat dilepas dan digabungkan, untuk menentukan bentuk yang pas dengan kasusnya.


SUMBER: http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/konten/show/1000

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Pengujian Core Drill Aspal

Dalam proyek jalan raya, dikenal suatu pekerjaan pengasapalan, umumnya proyek jalan menggunakan jenis Laston AC-WC, AC-BC dan AC-Base, setiap Laston tersebut mempunyai tebal nominal minimum.  Pengujian core drill ini bertujuan untuk menentukan dan mengambil sampel perkerasan di lapangan sehingga dapat diketahui tebal dan karakteristik campuran perkerasan. Pengujian ini dilakukan beberapa titik STA yang telah ditentukan bersama. Gambar mesin core drill   Gambar pengukuran tebal perkerasan aspal dengan jangka sorong Peralatan yang digunakan antara lain: 1. Mesin c ore drill 2. Mobil pengangkut mesin core drill 3. Bahan penambal lubang hasil core drill 4. Penjepit aspal 5. Jangka sorong 6. Air 7. Peralatan tulis Langkah Pengujian 1. Alat diletak pada lapisan aspal dalam posisi datar 2. Sediakan air dengan alat yang ada sistem pompa 3. Masukkan air ke dalam alat core drill melalui selang yang